Hak atas hidup sebagai “hak-hak yang paling terpenting dari semua hak asasi manusia……. dan ini harus ditunjukan oleh negara dalam sebuah tindakannya, termasuk cara menghukum kriminal”
Seorang hakim constitutional court di Afrikia Selatan
PERMOHONAN PENGAMPUNAN
( G R A S I )
PENGAMPUNAN MENUJU REKONSILIASI SEJATI
TERPIDANA MATI
FABIANUS TIBO
DOMINGGUS DASILVA Alias DOMI
MARINUS RIWU
Disampaikan Oleh
Penasehat Hukum Terpidana Mati
JOHNSON PANJAITAN, SH REINHARD PARAPAT, SH
MUHAMMAD ARFIANDI FAUZAN, SH ECOLINE SITUMORANG, SH
HENDRY DAVID. D, SH IRFAN FAHMI, SHi
IBRAHIM SUMANTRI, SH RIDWAN DARMAWAN, SHi
RIDO TRIAWAN, SH DERWIN ANIFAH, SH
YAN PATRIS BINELA, SH SYAFRUDDIN A. DATU, SH
HUISMAN BRANT, SH JANSES SIHALOHO, SH
Palu, 13 April 2005
Nomor : 01/TP-HAM/IV/2005 Palu, 13 April 2005
Lampiran : 1 (satu) Berkas
Perihal : PERMOHONAN PENGAMPUNAN (GRASI)
TERPIDANA MATI FABIANUS TIBO,
Kepada Yang Terhormat,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
BAPAK SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Di –
J a k a r t a. -
Dengan hormat,
Melalui permohonan ini kami dari Tim Pembela Hak Asasi Manusia (TP-HAM) selaku Kuasa Hukum dari Sdr. Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva Alias Domi dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus konflik Poso bermaksud mengajukan Permohonan Pengampunan (Grasi) kepada Bapak Presiden RI. Permohonan grasi ini kami ajukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip mendasar dari perlindungan hak asasi manusia, yakni hak untuk hidup. Kami percaya, bapak Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dapat mempertimbangkan secara positif permohonan grasi yang kami ajukan tersusun secara sistimatis dalam sebuah dokumen permohonan pengampunan (grasi) terlampir.
Bahwa terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu oleh Pengadilan Negeri Palu berdasarkan Putusan Nomor Register : 459/Pid. B/2001/PN. PL tanggal 3 April 2001, dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “ Pembunuhan Berencana, Pembakaran dan Penganiayaan Yang Dilakukan Bersama-sama Secara berlanjut ” sebagaimana dalam Dakwaan Primer Jaksa Penuntut Umum Kesatu : Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke – 1 KUHP, Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP Kedua : Pasal 187 KUHP ke – 1 KUHP, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP, Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP; Ketiga : Pasal 351 ayat (1) KUHP, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP, Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, dalam peristiwa Konflik/ Kerusuhan komunal pada bulan Maret – Juni 2000 di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah, dengan amar putusan “ Menghukum para terdakwa tersebut masing-masing dengan pidana “Mati ” (Putusan PN Palu Nomor : 459/Pid. B/2001/PN. PL terlampir).
Bahwa terhadap putusan Pengadilan Negeri Palu Nomor : 459/Pid. B/2001/PN. PL tersebut, Para Terdakwa telah melakukan Upaya Hukum berupa Permohonan Pemeriksaan di Tingkat Banding, Pemeriksaan di Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), yang mana terhadap upaya hukum tersebut baik Majelis Tingkat Banding, Kasasi maupun Peninjauan Kembali telah menjatuhkan putusan masing-masing berdasarkan putusan Nomor Register : 19/Pid/2001/PT. PALU tanggal 17 Mei 2001, dengan amar putusan Menguatkan amar putusan Pengadilan Negeri Palu; dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 11 Oktober 2001 dengan Register Nomor : 1225 K/Pid/2001 dengan amar putusan “Menolak Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi” serta Putusan Peninjauan Kembali Register Nomor : 72 PK/Pid/2002, dengan amar putusannya sebagai berikut :
- Menolak Permohonan Para Pemohon Peninjauan Kembali/Para Terdakwa : 1. Fabianus Tibo, 2. Dominggus Dasilva alias Domi dan 3. Marinus Riwu Tersebut ;
- Menetapkan bahwa Putusan Yang di Mohonkan Peninjauan Kembali tersebut tetap berlaku;
- Menghukum Pemohon Kasasi/ Para Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat Peninjauan Kembali ini sebesar Rp. 2500.-
Bahwa berdasarkan putusan-putusan pada semua tingkatan peradilan tersebut di atas, maka perkenankanlah kami Penasehat Hukum Terpidana Mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal, 1 Maret 2005 (terlampir), mengajukan Permohonan Pengampunan (GRASI) kepada Bapak Presiden Republik Indonesia sesuai dalam Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UU. No. 4 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. Pasal 2 ayat (1), ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
Guna mendapatkan gambaran akan berbagai permasalahan yang ada berkenaan dengan konflik kemanusiaan yang terjadi di Kabupaten Poso maka Permohonan Pengampunan (Grasi) ini kami susun secara sistematis yang terdiri dari empat bagian yaitu : Bagian I PENDAHULUAN : A Hukuman Mati Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, B. Profil Kabupaten Poso, C. Konflik Poso Dan Keterlibatan Ketiga Terpidana Mati, D. Analisa Penyebab Konflik Poso; Bagian II PERDAMAIAN (REKONSILIASI) KONFLIK POSO : Bagian III. POTRET PENEGAKAN HUKUM DI KABUPATEN POSO : A. Penegakan Hukum Di Kabupaten Poso Tidak Berdasar Asas Equal Treatment , B. Proses Peradilan Terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu Melanggar Asas Peradilan Yang Bebas (Fair of Trail) dan Bagian IV. KESIMPULAN DAN PERMOHONAN : A. Kesimpulan, B. Permohonan
Bagian I
HUKUMAN MATI DALAM PRESPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
A. Hukuman Mati Bertentangan Dengan Konstitusi
Bapak Presiden Yang Mulia,
Sebagai wujud perlindungan terhadap hak asasi dalam amandemen ke dua UUD 1945 tahun 2000 dengan tegas telah melahirkan pengakuan akan hak asasi manusia yakni hak untuk hidup, suatu hak yang tidak dapat dikurangi atas alasan apapun. Dalam Pasal 28 a. UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ini menunjukan bahwa UUD 1945 tidak membolehkan pengenaan dan pelaksanaan hukuman mati. Perkembangan perlindungan terhadap hak asasi manusia (hak untuk hidup) sebagai hak yang sangat fundamental yang dimiliki oleh setiap orang sebagaimana telah di tuangkan dalam konstitusi negara indonesia yakni Pasal 28 a UUD 1945, ini tidak diikuti dengan perubahan terhadap berbagai produk perundang-undangan.
Bahwa perubahan peraturan perundang-undangan yang mengikuti roh dari konstitusi yakni UUD 1945 sangat diperlukan agar tidak adanya pertentangan yang sangat substansial dari undang-undang tersebut. jika ditinjau dari teori Hans Kelsen yakni Stuffenbau Theorie, sebagaimana juga ditegaskan dalam asas Lex Superior derogat legi inferiori maka dalam prakteknya seharusnya ketentuan dalam UUD 1945 itulah yang berlaku, oleh karena asas tersebut mengandung arti bahwa apabila peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangann dengan peraturan yang lebih tinggi, maka peraturan yang lebih rendah itu dinyatakan batal demi hukum, atau setidak tidaknya dalam praktek harus dikesampingkan. Bahwa penggunaan ancaman hukuman mati dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang digunakan sebagai dasar penuntutan bagi terpidana mati sangat jelas bertentangan dengan roh dan nafas yang terkandung dalam Pasal 28 a UUD 1945 yang dengan tegas tidak membolehkan pengenaan dan pelaksanaan hukuman mati.
B. Berbagai Upaya Penghapusan Hukuman Mati.
Bapak Presiden Yang Kami Muliakan,
Upaya penghapusan terhadap hukuman mati telah lama diperjuangkan oleh umat manusia di belahan dunia ini dan hal ini telah menjadi dambaan masyarakat dunia internasional oleh karena penghapusan hukuman mati akan mempengaruhi peningkatan martabat manusia dan pembangunan hak asasi manusia yang progresif serta kemajuan dalam menikmati hak atas penghidupan.
Bahwa perjuangan terhadap penghapusan hukuman mati tersebut telah dituangkan dalam berbagai intrumen hukum hak asasi manusia internasional yakni Pasal 3 Univesal Deklarasi of Human Raights, Pasal 6 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) , Second Optional Protocol of ICCPR Aiming of The Abolition of Death Penalty tahun 1990, Protocol No. 6 European Convention for the Protection Human Raights and Pasal 7 Fundamental Freedom dan The Rome Statute of International Criminal Court (instrumen ini tidak mengatur hukuman mati sebagai salah satu cara penghukuman).
Menyadari bahwa hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights) serta hukuman mati dalam pengalaman peradaban manusia tidak dapat sekaligus menghilangkan kejahatan, maka masyarakat internasional sebanyak 50 negara telah meratifikasi dan kemudian menyepakati untuk mengadopsi Second Optional Protocol of ICCPR Aiming of The Abolition of Death Penalty dimana dalam protokol opsional ini secara tegas menyatakan melarang hukuman mati
Bahwa sepanjang sejarah perkembangan hukum baik di indonesia maupun dibelahan negara didunia telah membuktikan bahwa hukuman mati yang dilakukan selama ini baik yang dilakukan secara legal lewat putusan pengadilan maupun illegal seperti pembuhunan ekstra judisial (PETRUS) sekitar tahun 1982 sebagai Shock Teraphy terhadap para pelaku kejahatan juga tidak membawah dampak yang signifikan terhadap mengurangnya angka kriminalitas, sejalan dengan hal tersebut J.E Sahetapy sebagai salah satu orang yang selama ini konsen dalam perjuangan penghapusan pidana mati dalam suatu diskusi tentang pidana mati yang dilaksanakan di Hotel Mandarin Jakarta, pada 14 Desember 2004, mengatakan bahwa “dengan disetujuinya hukuman mati eksistensi lembaga pemasyarakatan akan menjadi problems, lagi pula, kalau benar pidana mati dianggap bisa menimbulkan efek ketakutan dan jera pada para (calon) pelaku kejahatan, pertanyaan yang muncul adalah : mengapa eksekusi selalu dilakukan secara “ intra-mural ” alias tidak diketahui oleh masyarakat, agar masyarakat menjadi takut dan jera”. Olehnya itu sudah saatnya pemerintah harus mempertimbangkan kembali pelaksanaan hukuman mati di indonesia.
Bagian II
KONFLIK POSO AGENDA SIAPA
A. Profil Kabupaten Poso.
Kabupaten Poso adalah salah satu Kabupaten tertua di Propinsi Sulawesi Tengah. Memiliki keaneka ragaman budaya, suku dan agama. Setidaknya ada sekitar 9 (sembilan) etnis besar yang ada dan berdomisili di Kabupaten Poso. Penduduk asli Kabupaten Poso adalah suku Pamona dan termasuk penduduk mayoritas. Demikian pula dengan agama yang ada. Kelima agama yang diakui di Negara Republik Indonesia terdapat di Kabupaten Poso. Masyarakat Kabupaten Poso hidup dalam keadaan rukun dan damai serta saling membaur antara satu etnis dengan etnis lainnya dan satu agama dengan agama lainya yang direkatkan dengan semboyan “ SINTUWU MAROSO “ yang artinya persatuan. Khusus etnis Pamona (penduduk asli Kabupaten Poso) memiliki beberapa sub Etnis. Sebahagian besar mendiami wilayah pedalaman Kabupaten Poso dan sebahagian lagi berada di wilayah pesisir pantai.
Sub etnis suku Pamona (suku asli) yang bermukim di wilayah pesisir pantai sebahagian besar menganut agama islam dan sub etnis suku Pamona (suku asli) yang berada di pedalaman menganut agama kristen. Dalam interaksi sosial sehari-hari kita sangat sulit membedakan, mana sub etnis suku Pamona yang beragama Islam dan yang beragama Kristen, sebab bahasa sehari-hari yang digunakan adalah satu bahasa yakni bahasa Pamona ( bahasa Bare’e ) dan yang paling menonjol adalah kaitan marga. Demikian juga yang terjadi dan berlaku bagi suku-suku pendatang yang terdiri dari suku Toraja, Gorontalo, Bugis, Makkasar, Jawa, Bali, Manado, Flores, Mori, Bungku, Lombok, Batak, Kaili dll, yang oleh karena proses perkawinan campuran, sehingga berdampak pada perekat “ SINTUWU MAROSO “ menjadi sangatlah kuat, baik dari segi kerukunan antara umat beragama maupun dalam interaksi sosial sehari-hari.
Sejak Kabupaten Poso berdiri, belum pernah terjadi perselisihan yang disebabkan oleh agama dan suku. Keadaan ini tetap terpelihara dan dapat dipertahankan sampai dengan tahun 1983. Adanya bibit konflik yakni, dengan dibuatnya sebuah surat oleh seorang Pejabat Pemerintah Kabupaten Poso (telah almarhum) tentang analisa beberapa suku yang sangat mendeskreditkan. Surat tersebut disebarluaskan ke seluruh masyarakat Kabupaten Poso pada tahun 1991 dalam rangka suksesi Bupati Kabupaten Poso, namun persoalan ini dapat diselesaikan secara Hukum Adat.
Simbol persaudaraan yang terbingkai dalam “ SINTUWU MAROSO “ hancur berkeping-keping pada kerusuhan Desember 1998, kerusuhan April 2000 dan paska kerusuhan bulan Mei 2000.
B. Konflik Poso dan Keterlibatan Ke- 3 Terpidan Mati.
Setelah konflik bulan desember 1998 berlalu dan masyarakat kelurahan lombogia, kasintuwu sudah mulai membangun kembali rumah-rumah mereka ancaman akan terulangnya konflik muncul dihadapan mereka. Seiring dengan proses peradilan terdakwa Drs. Agfar Patanga pada bulan januari 2000 salah satu tersangka kerusuhan tahun 1998, penentuan jabatan sekwilda kabupaten poso serta adanya penetapan tersangka penyalahgunaan dana KUT maka munculah beberap tuntutan dari masyarakat poso untuk membebaskan terdakwa Drs. Abdul Agfar Patanga dari jeratan hukum dan untuk jabatan sekwilda diserahkan kepada Drs. Damsik Ladjalani.
Pada bulan april 2000 timbul issu bahwa poso bakal rusuh lagi yang mengakibatkan adanya konsentrasi-kosentrasi massa dibeberapa tempat yang dilanjutkan dengan pembakaran, penjarahan dan pembunuhan dan dalam waktu sekejab rumah penduduk di tiga Kelurahan yakni Lombogia, Kasintuwu dan Sayo hangus terbakar.
Banyak fakta yang telah terungkap bahwa konflik horisontal yang terjadi di Kabupaten Poso adalah tidak lebih dari pada konflik kepentingan elit penguasa lokal yang haus kekuasaan serta adanya pihak-pihak yang ingin menghalangi dan/atau menutupi kasus penyalahgunaan dana KUT dengan menarik agama sebagai pemicu konflik yang mengakibatkan meningkatnya eskalasi konflik. Dengan dalih membela agamanya dan menghalalkan jalan kekerasan (pembunuhan, penculikan, penyiksaan dan pembakaran) : dengan menggunakan simbol-simbol agama disatu pihak berteriak “Allah Maha Besar/ Allahu Akbar, dipihak lain mengatakan Puji Tuhan/ Haleluya”1) dan selanjutnya sudah dapat dipastikan bahwa yang terjadi adalah saling serang - menyerang, balas-membalas.
Kalau kita mau jujur dan berkata sejujur-jujurnya bahwa dalam kerusuhan/konflik horisontal yang terjadi di Kabupaten Poso negara juga mempunyai andil yang cukup besar dalam menciptakan, melahirkan dan memelihara konflik tersebut, ketidak-netralan aparat keamanan, keterlibatan (by commision) maupun pembiaran (by ommission) terjadi dimana-mana serta lumpuhnya penegakan hukum telah membuat masyarakat (korban) menjadi frustasi yang mengakibatkan timbulnya benih-benih permusuhan (dendam kesumat) diantara kedua belah pihak yang bertikai. Bukannya mau menjadikan sebagai alasan pembenar bahwa atas kegagalan negara tersebut yang tidak mampu menciptakan rasa aman bagi kelangsungan kehidupan mereka, ketika aparat tidak berdaya serta lumpuhnya penegakan hukum, maka sangat tidak berlebihan jikalau kemudian masyarakat mengambil alih keamanan tersebut dan kemudian melakukan tindakan penegakkan hukum (street justice) menurut mereka yang paling adil, itulah kondisi dan realitas yang harus terjadi, tindakan berupa penyerangan, pembakaran, pembuhunan, penculikan yang pada dasarnya dilakukan oleh dua kelompok yang betikai yang didahului dengan suatu proses perencanaan tidak dapat dilepaskan dan tidak lebih dari pelampiasan rasa frustasi serta reaksi atas kegagalan negara dalam menciptakan keamanan, ketertiban dan penegakan hukum dalam masyarakat, sehingga konflik yang terjadi di Kabupaten Poso harus dilihat secara keseluruhan oleh karena kerusuhan yang terjadi pada tahun 2001 erat kaitannya dengan kerusuhan yang terjadi tahun 2000 dan tahun 1998.
Pada tanggal 22 Mei 2000 terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi, Marinus Riwu dan beberapa warga flores lainnya sekitar pukul 15.00 wita pergi ke Kelurahan Moengko dengan maksud dan tujuan untuk melakukan evakuasi warga flores (anak panti asuhan) di Gereja Katolik dan sekaligus mengamankan gereja oleh karena di desa tempat tinggal para terpidana mati terdengan issu bahwa Gereja Katolik di Kelurahan Moengko akan diserang, akan tetapi karena ujian ebtanas baru selesai besok maka Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva, Marinus Riwu dan rombongan lainnya menginap di Gereja Katolik – Moengko.
Keesokan harinya tanggal 23 Mei 2000 Sekitar pukul 03.30 wita terjadi penyerangan di Kelurahan Kayamanya dan Moengko dari kelompok kelelawar hitam (kristen) dipimpin oleh Ir. Advend Lateka yang mengakibatkan 3 (tiga) orang meninggal diantaranya adalah Serma. Kamaruddin Ali (anggota Polres Poso). Aparat kepolisian langsung mengejar para penyerang yang melarikan diri lewat samping Gereja Katolik – Moengko, aparat keamanan kemudian menanyakan kepada Fabianus Tibo soal orang-orang yang berada didalam gereja sebab mereka mengira kalau orang yang berada didalam Gereja Katolik adalah para penyerang. Sementara Fabianus menjelaskan maksud dan tujuan mereka ke Gereja massa dari kayamanya dan moengko semakin banyak dan tidak dapat dikendalikan. Melihat situasi yang semakin memanas Fabianus Tibo menemui salah satu tokoh masyarakat kayamanya yakni Bpk. Gafar Sabihi meminta agar menemui Kapolres Poso untuk meminta bantuan kendaraan untuk mengevakuasi warga flores dari kompleks Gereja Katolik tiba-tiba massa dari Kayamanya dan Moengko menyerang dan membakar gereja, oleh karena massa dari kayamanya dan moengko menyangka bahwa massa yang ada dalam gereja katolik adalah massa yang melakukan penyerangan di kelurahan moengko dan kayamanya. ( salah satu dasar yang dijadikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap terpidana mati).
Bahwa kami Penasehat Hukum terpidana mati juga tidak menutup mata akan keterlibatan para terpidana dalam konflik yang terjadi di Kabupaten Poso dan kamipun sependapat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para terpidana Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan norma olehnya itu kepada mereka haruslah diberikan sangsi, akan tetapi patutlah kiranya menjadi bahan pertimbangan dan perenungan bagi kita bahwa kondisilah yang membuat mereka dan masyarakat lainnya untuk melakukan semua itu, dalam situasi dan kondisi demikian mereka diperhadapkan hanya pada dua pilihan yaitu diserang atau menyerang.
Bahwa ditengah - tengah keterlibatan terpidana mati dalam konflik horisontal di poso pada sisi lain para terpidana mati masih mempunyai human interest yang tinggi terhadap sesama umat manusia yaitu dengan melakukan evakuasi terhadap warga masyarakat tanpa harus memandang agamanya entah kristen maupun muslim, hal ini sangat tidak berimbang dengan opini yang berkembang selama konflik bahwa Fabianus Tibo adalah sebagai pimpinan pasukan kelelawar (pasukan merah). Bahwa berdasarkan fakta lapangan (fakta materiil) yang bertindak sebagai pimpinan pasukan kelelawar adalah Ir. Advend Lateka sebagaimana pengakuan Ir. Advend Lateka melalui telpon kepada Kadit IPP Polda Sulteng Bpk. Suratno dan bertanggung jawab terhadap penyerangan yang terjadi di Kelurahan Moengko pada tanggal 23 Mei 2000 dan suratnya yang berisikan Tuntutan Perjuangan kepada Komnas HAM. (terlampir)
Bahwa human interest yang dimiliki oleh para terpidana mati ini di lakukan dalam beberapa kejadian (peristiwa) yaitu :
1. Pada hari minggu tanggal 28 Mei 2000 warga Desa Sintuwulemba datang ke Tagolu dan meminta perlindungan dan kemudian oleh terpidana mati beserta dan masyarakat lain bersama dengan 7 (tujuh) orang anggota TNI Kompi B 711 Raksatama – Kawua dengan menggunakan kendaraan truk milik TNI pergi ke Desa Sintuwulemba menjemput warga Desa Sintuwulemba dan penghuni pesantren walisongo untuk diungsikan ke Markas TNI di Kompi B 711 Raksatama Kawua dan sejumlah anak-anak dan wanita selamat diungsikan di Kompi B 711 Kawua.
2. Bapak Taiyeb (muslim) adalah warga Desa Sangira Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso. Pada tahun 2000 Bapak Taiyeb. L beserta anaknya bernama Jumiad alias Aco ditangkap oleh pasukan merah di Desa Sangira dan dibawa ke markas Pasukan Merah di Desa Tagolu Kecamatan Lage Kabupaten Poso selama kurang lebih 1 (satu) minggu. Selama berada di Markas Pasukan Merah Bapak Taiyeb oleh Fabianus Tibo dimintakan untuk membantu memasak di dapur dan diperlakukan secara manusiawi oleh Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva, Marinus Riwu dan warga lainnya. Seminggu kemudian ada berita bahwa istri dari Bapak Taiyeb sedang sakit di Desa Sangira dan atas himbauan Fabianus Tibo Bapak Taiyeb beserta anaknya Jumiad alias Aco di bawah ke Desa Sangira dengan selamat dan dapat berkumpul bersama keluarganya (surat pernyataan Bpk. Taiyeb. L terlampir).
C. Analisa Penyebab Konflik Horisontal di Kabupaten Poso.
Bapak Presiden Yang Mulia,
Kerusuhan Poso yang terjadi pada bulan Desember 1998 berawal dari perkelahian 2 (dua) remaja yang berlainan Agama yakni Roy Bisalemba (Kristen) dan Ridwan Kamboni (Islam) pada tanggal 25 Desember 1998 dini dan perkelahian tersebut telah ditangani oleh aparat keamanan. Pada waktu bersamaan diluar Kota Poso
berkembang issu bahwa seorang imam mesjid dipotong di dalam mesjid saat sedang sembahyang, sehingga terjadi pengerahan massa muslim dari luar kota, bersamaan dengan itu massa dari pihak kristen yang dipimpin oleh Herman Parimo sudah terkonsentrasi di Tagolu dan meminta kepada Bupati Poso untuk masuk kedalam kota membantu aparat keamanan memulihkan Kota Poso.
Bahwa dalam konflik yang terjadi pada bulan dessember 1998 ada hal yang menarik untuk dicermati yaitu beredar selebaran yang ditulis oleh Drs. Abdul Agfar Patanga berisi “Daftar Gerakan Pengacau Keamanan Kabupaten Poso tanggal 24 s/d 28 Desember 1998” dalam selebaran tersebut tertulis 10 nama pejabat (beragama kristen) dilingkungan Pemda Poso yang berencana melakukan makar terhadap bupati poso sehingga dengan selebaran tersebutn membuat msyarakat poso menjadi terprovokasi. Dalam kerusuhan tahun 1998 telah diproses hukum 4 orang yakni Roy Bisalemba divonis 12 tahun, Stenly Lalangi divonis 4 tahun (pemuda yang berkelahi), Herman Parimo divonis 14 tahun (yang didakwa melakukan makar terhadap pemerintah yang sah) dan Agfar Patanga divonis 6 bulan (pembuat selebaran bernuansa sara yang menghasut masyarakat).
Pada bulan April 2000 indikasi akan terulangnya kembali kerusuhan semakin jelas hal ini dapat dilihat dalam empat hal yaitu :
1. Pernyataan anggota Fraksi PPP DPRD Sulawesi Tengah Bpk. Haelani Umar pada harian mercusuar, edisi sabtu 15 April 2000 meprediksikan bahwa jika aspirasi masyarakat yang terakumulasikan diabaiakan begitu saja oleh pemerintah daerah (aspirasi yang menghendaki Drs. Damsyik Ladjalani menjadi sekwilda poso) maka poso bakal rusuh lagi (terlampir)
2. Pernyataan sikap dari KNPI Poso yaitu :
- Sdr. Awad Alamri, SH sesuai dengan penelitian KNPI Poso tidak memenuhi syarat-syarat sebagai Sekwilda Kabupaten Poso;
- Sesuai dengan aspirasi masyarakat dan hasil penelitian KNPI Poso, yang paling berhak untuk jabatan tersebut adalah Drs. Damsik Ladjalani;
- Apabila ternyata Awad Alamri, SH tetap dipaksakan untuk duduk sebagai sekwilda, maka poso dapat dipastikan rusuh kembali 2))
3. Pertemuan yang dilakukan Forum Pembela Umat Islam Cabang Poso di Mesjid Baitulrahman Poso tanggal 14 Januari 2000 yang membahas masalah perkembangan peradilan Agfar Patanga dimana salah satu hasil pertemuan adalah: Tegakan Kebenaran dan Keadilan, Bebaskan Agfar Patanga” dan untuk melaksanakan hasil pertemuan tersebut membebaskan Agfar Patanga dari jeratan hukum maka mereka juga merencanakan untuk membuat kerusuhan dengan cara : UNTUK MEMANCING MASSA PADA SAAT SIDANG AGFAR PATANGA DIGELAR AKAN DIBAKAR SEBUAH MESJID DI LAWANGA KEMUDIAN MEMBAKAR JUGA GEREJA DI LAWANGA AGAR DIBILANG ADA PERLAWANAN, dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Bahwa jika sdr. Abdul Agfar Patanga di penjara maka mereke juga akan dipenjara sebab mereka ini adalah kroni-kroninyasesuai dengan wawancara wartawan/ reporter Morowali Post;
b. Ada kepentingan sebagai pejabat dan juga ada kepentingan sebagai pengusaha…intinya proyek;
c. Karena kapolres poso (mantan : Let. Kol Dedy Wuryantono) serius dalam mengusut penyelewengan dana KUT, sebab mereka akan tersangkut;
d. Bahwa mereka menganggap Yahya Patiro, SH sebagai orang yang dapat menghambat tujuan mereka.3)
4. Adanya penetapan tersangka penyalahgunakan dana Kredit Usaha Tani terus bergulir, sehingga terkesan, kerusuhan sengaja dibuat untuk menutupi perbuatan pelanggaran hukum para tersangka, dengan harapan, karena adanya kerusuhan berarti kasus penyalahgunaan dana K.U.T. tersebut tertutupi, serta dapat di sinyalir, ada kelompok yang mencoba menutupi kasus pidana K.U.T tersebut 4))
Bapak Presidien Yang Mulia,
Bahwa indikasi akan terulangnya konflik tersebut benar-benar terjadi, seiring dengan peradilan Drs. Abdul Agfar Patanga pada bulan April 2000 konflik terjadi kembali, beberapa rumah masyarakat kristen dikelurahan lombogia yang dibakar pada kerusuhan tahun 1998 telah dibangun, namun pada kerusuhan bulan April 2000 dibakar kembali dan dilanjutkan dengan tindakan peyerangan dan pembunuhan serta tidak adanya penagakan hukum bagi pelaku-pelaku penyerangan, pembakaran dan pembunuhan maupun orang-orang yang melakukan provokasi/ menggerakan massa telah membangkitkan solidaritas dikalangan warga kristen dikabupaten poso untuk melakukan pembalasan terhadap penderitaan yang mereka alami. Pada tanggal 23 Mei 2000 masyarakat kristen dibawah pimpinan Ir. Advend Lateka mulai melakukan penyerangan ke daerah-daerah penduduk muslim yaitu Kelurahan Moengko dan Kayamanya dan kemudian dilanjutkan ketempat-tempat lain.
Bahwa dari gambaran tersebut diatas maka kami dapat menyimpulkan bahwa latar belakang konflik yang terjadi dikabupaten poso adalah :
1. Adanya pemaksaan kehendak dari sekelompok masyarakat di kota poso yang menghendaki untuk jabatan Sekwilda Kabupaten Poso dijabat oleh Drs. Damsyik Ladjalani;
2. Melakukan tekanan terhadap proses hukum (ingin membebaskan) Sdr. Agfar Patanga yang dituntut atas tindak pidana Penghasutan pada kerusuhan bulan Desember 1998;
3. Adanya penetapan tersangka kasus penyalagunaan dana KUT dan berkas perkaranya akan dilimpahkan ke pengadilan;
4. Tidak adanya penegakan/ proses hukum terhadap pelaku kerusuhan pada bulan Desember tahun 1998 dan kerusuhan pada bulan april tahun 2000.
Bagian III
PERDAMAIAN (REKONSILIASI) KONFLIK POSO
Bapak Presiden Yang Kami Muliakan,
Pada tanggal 19 s.d 20 Desember 2001 bertempat di Malino – Sulawesi Selatan untuk yang kesekian kalinya dilaksanakan sebuah rekonsiliasi bagi dua kelompok yang bertikai di poso, walau sebelumnya telah banyak kesepakatan-kesepakatan (rekonsiliasi) yang dibangun antara kedua belah pihak yang bertikai, baik atas inisiatif masyarakat maupun aparat pemerintah setempat namun pada kenyataanya kesepakatan tersebut tidak membawah dampak yang sangat berarti konflik masih terus berlanjut. Rekonsilaisi yang diprakarsai oleh Menko Polkan Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono dan Menko Kesra Bpk. Yusuf Kalla di Malino menghasilkan 10 (sepuluh) kesepakatan atau yang lebih dikenal dengan Deklarasi Malino.
Walaupun sepuluh kesepakatan deklarasi malino tersebut belum sepenuhnya terlaksana namun paling tidak kondisi sosial di Kabupaten Poso saat ini telah berlangsung cukup baik ini menunjukan bahwa pada level masyarakat bawah (korban) mempunyai semangat untuk melakukan perdamaian, banyak warga yang telah kembali ke desa mereka, berharap agar dimasa datang dapat memulai kehidupannya kembali setelah sekian tahun hidup dalam pengungsian. Upaya rekonsiliatif tersebut harus tetap dibangun ditengah-tengah masyarakat korban konflik agar kelangsungan kehidupan mereka dapat berjalan dengan baik.
Namun ditengah-tengah suasana kondisi sosial yang cukup kondusif di Kabupaten Poso masih terdapat tiga orang anak manusia yang saat ini berada dibalik tembok Lembaga Pemasyarakatan Petobo – Palu yang hidup dengan penuh pengharapan. Mereka adalah para terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu yang harus menanggung semua beban akibat konflik horisontal di bumi sintuwu maroso. Dalam lubuk hati mereka sering bertanya-tanya “apakah sebenarnya yang terjadi di Poso?, siapa yang telah merencanakan semua ini? sampai kita harus menjadi tumbal?.
Bapak Presiden Yang Mulia,
Mereka bertiga Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu pada dasarnya juga adalah korban konflik seperti juga masyarakat korban konflik lainnya yang semasa kerusuhan mencoba hidup dan bertahan ketika desa mereka diserang, rumah mereka dibakar, sanak saudara dibunuh, sehingga dalam situasi kondisi yang demikian sebagai manusia biasa yang mempunyai kelemahan maka sangat tidak berlebihan jika mereka dan masyarakat korban lainnya yang hidup dalam sepenanggungan, mengalami penderitaan yang sama dimana tidak ada lagi pengharapan terhadap jaminan keamanan (hak untuk hidup) kemudian membangun solidaritas sesama mereka untuk melakukan perlawanan terhadap ketidak adilan yang telah mereka rasakan.
Bukannya bermaksud untuk melakukan pembelaan yang berlebihan terhadap para terpidana mati, tetapi kami hendak mengajak semua pihak untuk dapat melihat dengan mata hati yang jernih soal duduk perkara konflik yang terjadi di kabupaten poso, sehingga dalam kondisi yang demikian apakah adil jika terhadap mereka harus ditimpahkan semua kesalahan/ masalah yang terjadi di kabupaten poso, kamipun Penasehat Hukum terpidana mati tidak menutup mata akan keterlibatan mereka dalam konflik yang terjadi di kabupaten poso akan tetapi mereka bukanlah aktor yang berada dibalik semua kerusuhan yang terjadi (yang seharusnya lebih pantas untuk dihukum, namun sampai dengan saat ini tidak/belum tersentuh hukum), mereka hanyalah korban yang mencoba untuk mempertahankan kelangsungan hidup dirinya, keluarganya, saudaranya, teman dan kerabatnya yang merasa senasib sepenanggungan.
Bapak Presiden Yang Kami Muliakan,
Bahwa terhadap kondisi sosial masyarakat dikabupaten poso yang saat ini sudah cukup kondusif dimana mereka yang tadinya saling bermusuhan kini sudah mulai hidup berdampingan, saling tolong menolong satu sama lainnya, kita semua berharap kiranya kondisi yang demikian akan tetap terus berlangsung sehingga proses rekonsiliasi yang telah bapak gagas akan tercapai yaitu terciptanya rekonsiliasi sejati. Olehnya itu kiranya sangat tidak berlebihan bahwa apa yang telah kami uraikan kiranya dapat menjadi salah bahan pertimbangan bapak dalam memutuskan permohonan pengampunan (grasi) ini, sebab tidak menutup kemungkinan bahwa dengan dilakukannya eksekusi terhadap ketiga terpidana mati kondisi sosial masyarakat akan terganggu sebagaimana tanggapan dua kelompok yang dilansir tabloit Gatra edisi 21 april 2001 setelah vonis mati dibacakan majelis hakim, Kelompok “kain putih” kaum islam Poso, bersukacita dengan vonis mati itu. Bagi mereka, ketiganya adalah monster yang haus darah, dan tega membantai siapa pun : lelaki, perempuan, dewasa atau anak-anak. Mereka pantas mati. Namun, bagi kelompok “kain merah” kristen mereka adalah kawan seperjuangan yang pantas dibela karena oleh kelompok kain merah diyakini bahwa mereka tidak pantas untuk dihukum mati. (terlampir).
Bagian IV
POTRET PENEGAKAN HUKUM DI KABUPATEN POSO
A . Penegakkan Hukum Di Kabupaten Poso Tidak Berdasar Asas Equal Treatment.
Sejak terjadinya kerusuhan/konflik horisontal di Kabupaten Poso – Sulawesi Tengah penegakkan hukum di wilayah bekas konflik tersebut terkesan hanya setengah hati, proses penegakkan hukum tidak dilakukan secara kompherensip dengan menegakan hukum tanpa pandang bulu dan dilakukan kepada siapa saja yang diindikasikan melakukan perbuatan melawan hukum. Bahwa proses hukum terhadap pelaku penganiayaan yang terjadi di Kelurahan Sayo tanggal 25 Desember 1998 yang berlanjut jadi kerusuhan, konflik tahun 2000, 2001 hingga tahun 2002 dengan berbagai macam tindak pidana serta beragamnya hukuman hingga sampai hukuman mati, hanyalah ditujukan kepada pelaku-pelaku lapangan saja, sementara orang yang telah merencanakan/ mendesain dan penyandang dana, penyuplai bahan peledak dan amunisi serta penghasut/ penggerak massa tidak satupun yang tersentuh hukum, mereka bebas berkeliaran dimana-mana.
Dalam menegakan hukum terkhusus untuk wilayah konflik tidak dapat dilakukan secara sepotong-potong, haruslah dilakukan secara menyeluruh dengan tetap berpegang teguh terhadap asas Equal treatment (perlakuan yang sama) oleh karena kerusuhan yang terjadi mempunyai hubungan satu sama lainnya. Peristiwa yang terjadi tahun 2001 sangat erat kaitannya dengan peristiwa yang terjadi pada tahun 1998 dan tahun 2000, tetapi yang terjadi dilapangan adalan para pelaku (aktor-aktor) pada kerusuhan tahun 1998 dan 2000 luput dari jeratan hukum. Walaupun pihak aparat kepolisian sudah cukup banyak mempunyai data namun juga tidak dilakukan proses hukum sebagaimana mestinya.
Dari sekian banyak peristiwa (tindak pidana) yang terjadi selama konflik berlangsung hanya kepada mereka bertiga Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu yang dijatuhi hukuman mati. Hal ini patut untuk dicermati bahwa terpidana mati di persalahkan sebagai pimpinan pasukan kelelawar (pasukan merah) yang melakukan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana, pembakaran dan penganiayaan yang dilakukan di Kelurahan Moengko dan Kayamanya, di Mesjid Al-Hadjrah Desa Sintuwulemba dan Lorong Puskesmas Desa Tagolu. Seandainya hal ini benar maka bagaimanakah juga dengan pimpinan pasukan yang telah melakukan tindak pidana yang sama seperti yang dilakukan oleh terpidana mati seperti : penyerangan dan pembakaran yang terjadi dikelurahan kasintuwu dan sayo bulan Desember 1998 dan pembakaran, penyerangan, pembunuhan pada bulan April 2000 (yang identitasnya telah diketahui aparat), Penyerangan 5 (lima) desa betalemba, patiwunga, tangkura, sangginora, dewua pada akhir tahun 2001 yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa 6 orang serta hancurnya semua rumah penduduk, rumah ibadah akibat pembakaran, penyerangan 3 (tiga) desa saatu, pantangolemba, pinedapa yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa 12 orang meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka pada tahun 2003, terjadi pembunuhan, penyerangan Desa Beteleme pada tahun 2003 yang mengakibatkan 3 orang meninggal, akan tetapi pelakunya setelah melalui proses peradilan oleh Pengadilan Negeri Palu pelaku tersebut dijatuhi vonis 4 (empat) tahun, dan berbagai kejadian pemboman dan penembakan misterius yang telah menelan puluhan bahkan ratusan jiwa meninggal. Pertanyaanya kemudian adalah adakah diantara mereka yang bernasib sama dengan para terpidana mati yang diperiksa dan diadili dalam suatu peradilan yang tidak bebas dari tekanan dan atau intimidasi ???,, tentunya dengan tegas kita akan mengatakan bahwa “ tidak satupun dari mereka yang bernasib sama dengan ke tiga terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu ”.
Bukannya mau membuka kembali lembaran sejarah yang kelam yang terjadi di Bumi Sintuwu Maroso yang saat ini masyarakat sudah mulai hidup rukun satu sama lainnya, tetapi penegakkan hukum yang berkeadilan harus tetap berjalan dan diberlakukan kepada siapa saja yang melanggar, agar keadilan dapat ditegakkan serta masyarakat dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan mereka, yang telah membuat mereka harus saling serang- menyerang, bunuh – membunuh, oleh karena rekonsiliasi sejati tanpa adanya penegakan hukum yang berkeadilan sangatlah sulit terwujud.
Dalam suatu pertemuan di Gedung Torulemba/ Rumah Jabatan Bupati Poso pada tanggal 2 Desember 2004 yang dihadiri oleh Inspektur Pengawas Daerah (Irwasda) Polda Sulteng, Bupati Poso, Kapolres Poso dan Tokoh Agama/Masyarakat, salah satu peserta (tokoh muslim) Sdr. Drs. H. Adnan Arsal mengemukanan “supaya konflik kerusuhan poso diungkap secara tuntas dan meminta supaya kelompok 16 nama (yang disebutkan terpidana masti dalam pembelaannya di pengadilan negeri palu) diperiksa kembali secara transparan dan tuntas”, pada bagian lain Bapak Yahya Patiro, SH (tokoh kristen/ Ketua II Majelis Sinode GKST) mengharapkan agar penanganan masalah-masalah kekerasan khususnya dan masalah konflik pada umumnya oleh aparat keamanan supaya berpegang pada asas Equal treatment (perlakuan yang sama) terhadap seluruh warga masyarakat sehingga tidak diskriminatif, “sehubungan dengan penyampaian sdr. Adnan Arsal supaya 16 (enambelas) nama yang disebut-sebut Tibo Cs. diusut kembali, maka kepada Kapolda Sulteng dan Forum pertemuan disampaikan bahwa apabila kalangan muslim di poso ada beredar 16 nama, maka dikalangan masyarakat kristen tentena ada 100 (seratus) nama yang juga selalu dipertanyakan mengapa tidak pernah diproses hukum, yaitu antara lain : Sdr. Adnan Arsal, Daeng Raja, Nani Lamusu, Mandor Pahe dan lain-lain”. (hasil pertemuan terlampir).
Sebagai gambaran proses hukum di Kabupaten Poso pasca konflik tahun 1998 terhadap salah satu aktor penyulut konflik bulan Desember 1998 bersama ini kami tampilkan proses peradilan terdakwa Agfar Patanga yang dilakukan dibawah tekanan massa sama seperti proses peradilan para terpidana mati.
Profil kasus : Pada tanggal 29 Desember 1998 Drs. Abdul Agfar Patanga menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong kepada masyarakat di Kota Poso dengan cara menulis selebaran yang berjudul “Daftar Gerombolan Pengacau Keamanan Kabupaten Poso tanggal 24 s/d 28 Desember 1998”. Isi selebaran tersebut : Melakukan kup; Membunuh/ melumpuhkan mencederai bapak BKDH Tkt. II Poso Arief Patanga, SH; Jika berhasil maka GPK akan mengangkat Yahya Patiro, SH untuk memulihkan situasi dan ingin mengambil simpati dari rakyat untuk dipilih menjadi Bupati periode 1999 – 2004.
Bahwa proses peradilan terhadap terdakwa Drs. Abdul Agfar Patanga dilakukan dibawah tekanan (pressure) massa yang dilakukan oleh pendukungnya, tekanan tersebut telah direncanakan dalam beberapa kali pertemuan baik yang dilakukan di Mesjid Agung Baitulrahman Poso maupun di rumah Aliansyah Tompo alias Maro dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh : Drs. H. Adnan Arsal, Drs. Hasan Lasiata, Kasmat Lamuka, Marro Tompo, Muktar Lapangasa, Yusuf Dumo, Ahmad Laparigi, Daeng Raja, Mador Pahe (nama-nama tersebut sudah diserahkan kepada Polda Sulteng) dengan agenda utama adalah membicarakan bagaimana membebaskan Drs. Agfar Patanga dari tuduhan pembuat selebaran berbau SARA pada Kerusuhan Desember 1998 dan hasil pertemuan tersebut disepakati : Tegakan Kebenaran dan Keadilan, Bebaskan Agfar Patanga”.
Bahwa untuk melaksanakan hasil pertemuan tersebut membebaskan Agfar Patanga dari jeratan hukum maka mereka juga merencanakan untuk membuat kerusuhan dengan cara : UNTUK MEMANCING MASSA PADA SAAT SIDANG AGFAR PATANGA DIGELAR AKAN DIBAKAR SEBUAH MESJID DI LAWANGA KEMUDIAN MEMBAKAR JUGA GEREJA DI LAWANGA AGAR DIBILANG ADA PERLAWANAN, akibat dari tekanan tersebut pada tanggal 20 November 2000 Pengadilan Negeri Poso dalam Putusannya Nomor : 191/Pid.B/1999/PN.Poso memvonis terdakwa Drs. Agfar Patanga dengan pidana penjara 6 bulan penjara. Suatu putusan yang sangat fantastis bagi salah satu aktor penyulut konflik Desember 1998.
Sebagai perbandingan proses penegakan hukum (penyelesaian beberapa kasus) berkenaan dengan konflik/ kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso bersama ini kami lampirkan beberapa putusan pengadilan negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
B. Proses Peradilan Terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu Melanggar Asas Peradilan Yang Bebas (Fair of Trail)
Pada hari selasa tanggal 25 Juli 2000 terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu sebagai warga negara yang patuh pada hukum menyerahkan diri kepada Komandan Batalyon II Operasi Cinta Damai yaitu Kap. Inf. Agus Firman Yuswono dan Kap. CZI. Aldi Rinaldy dan kemudian diserahkan kepada Kepolisian Daerah Sulteng. Terpidana mati oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah didakwa telah melakukan tindak pidana “Pembunuhan Berencana, Pembakaran dan Penganiayaan yang dilakukan secara berlanjut” pada bulan Maret hingga Juli 2000 di Kelurahan Moengko Baru dan Kayamanya Kecamatan Poso Kota, Mesjid Al-Hidjrah dan Pesantren Walisongo Desa Sintuwulemba, Lorong Puskesmas Desa Tagolu dan di Penambangan Pasir Tepi Sungai Poso Desa Tagolu Kecamatan Lage. Bahwa perbuatan berupa Pembunuhan, Pembakaran, Penculikan, Penganiayaan pada dasarnya dilakukan oleh kedua belah pihak yang bertikai (kristen-islam)
Seiring dengan proses persidangan terhadap diri para terpidana mati kondisi/ situasi di Kabupaten Poso semakin memanas, eskalasi konflik menjadi meningkat yang mengakibatkan arus pengungsi semakin besar, ribuan pengungsi meninggalkan kota poso dan salah satu tujuan pengungsian adalah Kota Palu. Oleh karena itu setiap kali persidangan dilakukan pengadilan selalu di penuhi oleh ribuan massa pengunjung yang tidak lain mereka adalah pengungsi (korban) dari kota poso yang sudah tentu masih diliputi dengan amarah, dendam dan rasa frustrasi akibat kehilangan orang tua, anak-anak, keluarga, saudaranya dan harta bendanya, sehingga pada setiap proses persidangan presure massa sangatlah kental, bahkan adanya satu peristiwa saat persidangan berlangsung (pemeriksaan saksi) salah seorang saksi sempat menampar muka terdakwa Febianus Tibo. Proses peradilan yang demikian jelas telah memberikan tekanan secara langsung kepada Majelis Hakim, Jaksa, Terdakwa, Saksi maupun Penasehat Hukum.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (9) KUHAP disebutkan bahwa “Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara tindak pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana secara tegas mengatur perlindungan terhadap hak sasi manusia olehnya itu “peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan”.
Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “segala campur tangan dalam urusan pengadilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945”
Bahwa kedua peraturan perundang-undangan tersebut diatas sebagai dasar pelaksanaan peradilan dengan tegas menyatakan bahwa peradilan dalam memeriksa dan memutus perkara tindak pidana berdasarkan asas bebas dan jujur. Ini mengartikan bahwa peradilan yang dilaksanakan harus benar-benar bebas dari segala campur tangan dari pihak manapun, bebas dari tekanan dari dan oleh siapapun juga.
Bahwa peradilan yang dilaksanakan terhadap terpidana mati tidak lagi mencerminkan peradilan yang bebas ( fair of trail) sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), peradilan yang bebas dari berbagai campur tangan dari siapa pun sangat diperlukan guna menghindari penjatuhan hukuman yang tidak didasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan dan dengan mempertimbangkan berat ringanya perbuatan, latar belakang (motif) perbuatan itu dilakukan terdakwa (proses persidangan terlampir).
Bahwa disamping peradilan yang bebas (fair of trail) tidak tercapai, pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya pada halaman 71 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu berpendapat “Bahwa yang perlu dicatat disini ialah bahwa para terdakwa bukanlah pembuat/ pelaku langsung/ dader perbuatan pidana karena kedudukan mereka adalah orang-orang yang terkait dengan ketentuan pasal 55 KUHP, dst….”.
Bahwa rumusan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri tersebut diatas dengan jelas dan nyata menyatakan bahwa mereka terpidana Febianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu bukanlah sebagai pelaku langsung walaupun oleh undang-undang dikategorikan juga sebagai pelaku, mereka pada dasarnya hanya korban konflik seperti korban konflik lainnya yang kemudian masuk dan ikut terlibat setelah konflik tersebut telah jauh berlangsung, dan walapun Majelis Hakim berkeyakinan bahwa mereka terdakwa Febianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu bukanlah sebagai pelaku langsung akan tetapi juga kepada mereka tetap dijatuhi Pidana Mati, dalam kesemuanya itu kadang kala kami merenung dan bertanya-tanya apakah kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso harus dipertanggung-jawabkan kepada mereka ???? sementara mereka ketiga terpidana mati masuk ke kabupaten poso jauh setelah konflik berlangsung yakni tanggal 23 Mei 2000 atau dengan kata lain Apakah mereka harus dianggap orang yang paling bertanggung jawab terhadap konflik yang terjadi ???, adalah sangat tidak adil jika semua kesalahan harus ditimpahkan kepada mereka Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu, dilain sisi masih ada dan bahkan banyak orang yang lebih berat perbuatanya dari ketiga terpidana mati yang harus bertanggung jawab yaitu mereka yang telah merancang, menyusun, membiayai, penghasut, penggalang massa termasuk juga negara yang telah gagal dan menciptakan keamanan dan penegakan hukum.
Disamping hal tersebut diatas ketiga terpidana mati sejak proses hukum pada Pengadilan Negeri Palu hingga pemeriksaan pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung mereka sama sekali tidak pernah menerima salinan putusan sehingga pada dasarnya mereka tidak mengetahui bentuk putusan tersebut, saat ini mereka hanya menerima salinan putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung.
Bagian V
KESIMPULAN DAN PERMOHONAN
A. Kesimpulan
Bedasarkan atas uraian tersebut diatas maka kami Penasehat Hukum Terpidana Mati berkesimpulan :
1. Bahwa konflik/ kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso bukan merupakan konflik agama tetapi tidak lebih dari kepentingan elit politik lokal yang haus akan kekuasaan dengan menarik agama sebagai pemicu konflik;
2. Negara telah gagal dalam menanggulangi kerusuhan/ konflik, menciptakan rasa aman dan keselamatan masyarakat di kabupaten poso;
3. Bahwa dalam kasus kasus konflik horisontal di Kabupaten Poso penegakan hukum tidak didasarkan pada asas equal treatment (persamaan didepan hukum);
4. Bahwa proses peradilan terpidana mati dilakukan dibawah tekanan massa sehingga kebebasan peradilan (fair of trail) yang menjadi salah satu asas peradilan;
5. Bahwa terpidana mati pada dasarnya adalah korban seperti korban konflik lainnya dan bukanlah pelaku langsung (aktor utama) dalam mendesain, membuat dan/ atau merancang konflik/kerusahan horisontal di Kabupaten Poso.
B. Permohonan :
Berdasarkan dengan apa yang telah kami uraikan diatas perkenankanlah kami Penasehat Hukum Terpidana Mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu untuk dan atas nama Keadilan dan Kemanusiaan dengan ini memohon kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO kiranya berkenan :
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pengampunan (GRASI) dari terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu;
2. Merubah atau Mengurangi dan/atau setidak-tidaknya Meringankan hukuman para terpidana mati Febianus Tibo, Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu dari HUKUMAN MATI menjadi HUKUMAN UNTUK WAKTU TERTENTU.
Demikian Permohonan Pengampunan (GRASI) ini kami buat, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa tetap melimpahkan rahmat dan ridhonya kepada Bapak Presiden untuk memutus permohonan ini.
Hormat Kami,
Penasehat Hukum Terpidana Mati
JOHNSON PANJAITAN, SH REINHARD PARAPAT, SH
MUHAMMAD ARFIANDI FAUZAN, SH ECOLINE SITUMORANG, SH
HENDRY DAVID. D, SH IRFAN FAHMI, SHi
IBRAHIM SUMANTRI, SH RIDWAN DARMAWAN, SHi
RIDO TRIAWAN, SH DERWIN ANIFAH, SH
YAN PATRIS BINELA, SH SYAFRUDDIN A. DATU, SH
HUISMAN BRANT TORIPALU, SH
Sabtu, 21 Februari 2015
Contoh Surat Permohonan Grasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar